Selasa, 28 Maret 2017

ASMA pada anak :D

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya asma adalah :
1.      Obstruksi saluran respiratori
Hal yang mendasari terjadinya gangguan fungsi pada penyakit asma yaitu obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversible. Perubahan fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan respon saluran nafas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Batuk berulang dapat merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan pada anak.
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkhial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrin C4 yang dikeluarkan oleh sel mast. Neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas (yang diperberat oleh penebalan saluran nafas yang berhubungan dengan edema akut, infiltrasi sel, dan remodeling) adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada dinding saluran napas. Namun, keterbatasan aliran udara pernapasan dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran napas dipenuhi oleh sekret yang banyak, tebal dan lengket (yang diproduksi oleh sel Goblet dan kelenjar submukosa), pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkhial dan debris seluler.
Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran napas adalah kecenderungan bernapas hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernapasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernapasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal (lebih dari normal). Peningkatan usaha bernapas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal napas.
2.      Hiperreaktivitas saluran respiratori
Asma hampir selalu berhubungan dengan saluran napas yang mengalami penyempitan dan atau respon yang berlebihan terhadap provokasi stimulus. Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas yang berpengaruh terhadap kontraktilitas. Inflamasi pada dinding saluran napas khususnya pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase, dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Penemuan ini membuktikan adanya hubungan antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran napas.
3.      Otot polos saluran respiratori
Beberapa pengukuran yang dilakukan terhadap kontraksi isotonik otot polos saluran napas pasien asma menunjukkan adanya pemendekan dari panjang otot. Kelainan fungsi kontraksi ini diakibatkan oleh perubahan pada apartus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ekstraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Proses ini disertai dengan pertumbuhan otot dan atau perubahan pada fenotip sel otot polos yang diakibatkan oleh interaksi dengan inflamasi saluran napas.
4.      Hipersekresi mukus
Survei membuktikan, sebanyak 30% pasien asma kesehariannya memproduksi sputum dan 70% sisanya hanya memproduksi pada saat serangan asma timbul. Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien asma dan penampakan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis. Penebalan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis. Mediator penting yang dikeluarkan oleh sel goblet, yang mengalami metaplasia dan hiperplasia, merupakan bagian dari rantai inflamasi. Degranulasi sel goblet yang habdicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik dan degranulasi juga diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivasi perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non protease.

A.    Faktor Resiko Asma Bronkial

Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
Faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan (mite domestic, binatang, kecoa, jamur)
Alergen di luar ruangan (tepung sari bunga, jamur)
Bahan di lingkungan kerja (Asap rokok pada perokok aktif dan pasif)
Polusi udara(dalam dan luar ruangan)
Infeksi pernapasan (Hipotesis higiene)
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas
Faktor lingkungan mencetuskan
eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala- gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

(IDI, 2014)


Anamnesis
Untuk memperkuat dugaan asma, anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang tepat mengenai gejala sulit bernapas, mengi, atau dada terasa berat yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim serta adanya riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma (consider diagnosis of asthma) :
-          Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?
-          Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
-          Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah olahraga?
-          Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan?
-          Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
-          Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti asma?
Setelah menetapkan apakah seorang anak benar-benar mengalami mengi atau batuk, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul tersendiri diantara batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak bersamaan dengan infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala. Pencetus yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi, debu, pajanan terhadap bulu binatang, perubahan suhu lingkungan atau cuaca, atau asap rokok. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk mengarahkan pengobatan yang akan diberikan. (Arwin AP Akib, 2008)

Pemeriksaan Fisik
Umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi di luar serangan. Sehingga, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik serta respons terhadap pengobatan). Sebab, pada kelompok usia ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang, asma pada anak didiagnosis sebagai bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif.
Mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal menuju diagnosis. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi, sesak dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. (IDAI, 2010)
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak terdengar selama eksaserbasi asma yang berat karena penurunan aliran napas yang dikenal dengan “silent chest”. (IDI, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
1.      Spirometer.
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2.      Peak Flow Meter/PFM.
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan  pemeriksaan FEV1.
3.      X-ray dada/thorax.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4.      Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5.      Petanda inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6.      Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi  tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. (Rengganis, 2008)

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol. (IDI, 2014)