Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya asma adalah :
1.
Obstruksi saluran respiratori
Hal yang
mendasari terjadinya gangguan fungsi pada penyakit asma yaitu obstruksi saluran
respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversible. Perubahan fungsional ini
dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan
respon saluran nafas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkokonstriksi.
Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respiratori oleh mediator
inflamasi. Batuk berulang dapat merupakan satu-satunya gejala asma yang
ditemukan pada anak.
Penyempitan
saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkhial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator tersebut
antara lain histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrin C4 yang
dikeluarkan oleh sel mast. Neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen lokal
dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas (yang diperberat oleh
penebalan saluran nafas yang berhubungan dengan edema akut, infiltrasi sel, dan
remodeling) adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta
terjadi deposisi matriks pada dinding saluran napas. Namun, keterbatasan aliran
udara pernapasan dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran napas dipenuhi
oleh sekret yang banyak, tebal dan lengket (yang diproduksi oleh sel Goblet dan
kelenjar submukosa), pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkhial dan debris seluler.
Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran napas adalah kecenderungan
bernapas hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang
kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan
kerja pernapasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernapasan melalui jalur
yang sempit dengan rendahnya compliance
pada kedua paru. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma
dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi
tidak optimal (lebih dari normal). Peningkatan usaha bernapas dan penurunan
kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal napas.
2. Hiperreaktivitas
saluran respiratori
Asma hampir selalu
berhubungan dengan saluran napas yang mengalami penyempitan dan atau respon
yang berlebihan terhadap provokasi stimulus. Mekanisme terhadap reaktivitas
yang berlebihan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas yang
berpengaruh terhadap kontraktilitas. Inflamasi pada dinding saluran napas khususnya
pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase, dan protein kationik eosinofil,
dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti
mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Penemuan ini membuktikan
adanya hubungan antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif
saluran napas.
3. Otot
polos saluran respiratori
Beberapa
pengukuran yang dilakukan terhadap kontraksi isotonik otot polos saluran napas
pasien asma menunjukkan adanya pemendekan dari panjang otot. Kelainan fungsi
kontraksi ini diakibatkan oleh perubahan pada apartus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ekstraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Proses ini disertai dengan pertumbuhan otot dan atau perubahan
pada fenotip sel otot polos yang diakibatkan oleh interaksi dengan inflamasi
saluran napas.
4. Hipersekresi
mukus
Survei
membuktikan, sebanyak 30% pasien asma kesehariannya memproduksi sputum dan 70%
sisanya hanya memproduksi pada saat serangan asma timbul. Hiperplasia kelenjar
submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien asma
dan penampakan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis.
Penebalan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi
musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel, pengendapan albumin
yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal
dari sel inflamasi yang mengalami lisis. Mediator penting yang dikeluarkan oleh
sel goblet, yang mengalami metaplasia dan hiperplasia, merupakan bagian dari
rantai inflamasi. Degranulasi sel goblet yang habdicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal
atau aktivasi jalur refleks kolinergik dan degranulasi juga diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivasi perangsang sekret, seperti neutrofil
elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non protease.
A.
Faktor
Resiko Asma Bronkial
Faktor
Pejamu
|
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
|
Faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya asma
pada individu dengan predisposisi asma
|
Alergen di dalam ruangan (mite domestic, binatang,
kecoa, jamur)
Alergen di luar ruangan (tepung sari bunga, jamur)
Bahan di lingkungan kerja (Asap rokok pada perokok
aktif dan pasif)
Polusi udara(dalam dan luar ruangan)
Infeksi pernapasan (Hipotesis higiene)
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas
|
Faktor lingkungan mencetuskan
eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala- gejala asma menetap
|
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna
makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household
spray)
|
Anamnesis
Untuk memperkuat dugaan asma, anamnesis harus dilakukan dengan
cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang tepat mengenai gejala sulit
bernapas, mengi, atau dada terasa berat yang bersifat episodik dan berkaitan
dengan musim serta adanya riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota
keluarga. Pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis
asma (consider diagnosis of asthma) :
-
Apakah anak mengalami serangan mengi atau
serangan mengi berulang?
-
Apakah anak sering terganggu oleh batuk
pada malam hari?
-
Apakah anak mengalami mengi atau batuk
setelah olahraga?
-
Apakah anak mengalami gejala mengi, dada
terasa berat, atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan?
-
Apakah jika mengalami pilek, anak
membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
-
Apakah gejala klinis membaik setelah
pemberian pengobatan anti asma?
Setelah menetapkan apakah
seorang anak benar-benar mengalami mengi atau batuk, langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala harus dibedakan apakah
gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul tersendiri diantara
batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak
bersamaan dengan infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan
pencetus gejala. Pencetus yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi, debu,
pajanan terhadap bulu binatang, perubahan suhu lingkungan atau cuaca, atau asap
rokok. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk mengarahkan
pengobatan yang akan diberikan. (Arwin AP Akib, 2008)
Pemeriksaan
Fisik
Umumnya
tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami serangan. Pada sebagian
kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi di luar
serangan. Sehingga, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5
tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisik serta respons terhadap pengobatan). Sebab, pada kelompok usia
ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya
hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek
sehari-hari. Tidak jarang, asma pada anak didiagnosis sebagai bentuk varian
bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif.
Mengi
berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal menuju diagnosis.
Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang hanya menunjukkan batuk
sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan mengi,
sesak dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang
rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable
diagnosis. (IDAI, 2010)
Pemeriksaan
fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang paling sering ditemukan
adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya
terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak terdengar selama
eksaserbasi asma yang berat karena penurunan aliran napas yang dikenal dengan “silent chest”. (IDI, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer.
Alat pengukur faal paru, selain
penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan
efek pengobatan.
2. Peak
Flow Meter/PFM.
Peak flow meter merupakan alat
pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah
udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1
atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak
begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan
alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray
dada/thorax.
Dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan
IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test)
untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk
menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan
cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda
inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya
dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi
saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida
nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein
(ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.
6. Uji
Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan
obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan
dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen
dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes
kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. (Rengganis, 2008)
Penegakan
Diagnosis (Assessment)
Diagnosis
klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum dan sesudah
pemberian inhalasi salbutamol. (IDI, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar