Kamis, 01 Agustus 2013

FARMAKOGENETIK DAN FARMAKOGENOMIK (faktor genetik & reabsorbsi obat)

            Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap perbedaan fenotip dari masing-masing etnik.

        Keterlibatan gen dan protein di dalam perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap obat telah lama menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang farmasi. Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini dapat menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon obat khususnya pada tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan obat. Untuk itu dibutuhkan suatu perangkat yang mampu mengidentifikasi suatu marker tertentu yang dapat memperkirakan terjadinya respon negatif atau respon positif dalam pengembangan obat yang didasarkan pada pendekatan teknologi genom tersebut.

            Dalam ulasan berikut  ini akan diuraikan tentang hubungan antara respon obat dengan heterogenisitas genom manusia agar dapat digunakan dalam mengidentifikasi target kerja obat secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta terapi berdasarkan pendekatan genetik.
           Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang pengaruh faktor genetik terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai ilmu yang mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.   Hal ini didasarkan atas terjadinya perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut dapat kita tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek, menurun. Efek atau justru cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang farmakogenetik dapat digunkana untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib obat dalam tubuh.


      Farmakogenomik berakar dari farmakogenetik, suatu bidang ilmu yang telah dikenal lebih dari 50 th yang lalu. Farmakogenomik mencakup studi mengenai keseluruhan genom manusia, sementara genetik merupakan studi mengenai gen individual. Farmakogenomik mengamati respon obat terhadap keseluruhan genom, sedangkan farmakogenetik mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.  

           Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat dan rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis maupun ADR (adverse drug reaction) karena penggunaan metode trial-and-error.Metode trial-and-error dengan pendekatan one-drug-fits-all yang dilakukan dalam penatalaksanaan pasien seringkali memberikan hasil yang tidak efektif dan efisien, membuang waktu, tingginya biaya yang dikeluarkan, dan yang terpenting, gagalnya terapi. Analisis farmakogenomik membantu mengidentifikasi pasien yang memetabolisme obat tertentu secara abnormal. Penderita seperti ini umumnya memetabolisme suatu obat tertentu dengan cepat sehingga tidak berefek terapi (terhadap sistem yang dituju).
     Respons yang berbeda-beda inilah yang dipelajari dalam ilmu farmakogenomik dan farmakogenetik sebagai bagian dari perkembangan ilmu biologi molekuler. Saat ini telah ditemukan dalam sejumlah populasi di Indonesia yang tidak memiliki enzim tertentu di hatinya. Enzim ini berfungsi untuk mengkonjugasikan obat tertentu. Berdasarkan hal itu, dianggap perlu adanya pemilihan pengobatan secara khusus (fungsi farmakogenomik) dengan variasi 15-50% populasi. Meski demikian, sistem “pengobatan individual” tidak hanya untuk kuratif, tetapi juga preventif. Dengan data gen yang sudah dikumpulkan, bisa diketahui seseorang atau suatu populasi berisiko atau tidak terhadap penyakit tertentu. Kalau ternyata dari data genetik tersebut misalnya seseorang rentan terhadap penyakit jantung atau kanker usus besar, maka sejak dini individu bersangkutan sudah bisa diingatkan agar mengatur pola makan maupun aktivitas fisiknya. Di Amerika Serikat, menurut Penelope Manasco, wakil president First Genetik Trust,

           Illinois yang menangani data genetik dan bioinformatik, saat ini efektifitas obat dalam penatalaksanaan pasien berada dalam range 30-50%. Hal ini suatu hal yang mengkhawatirkan untuk obat tertentu seperti berbagai macam antidepresi dimana pemilihan obat yang tepat memakan waktu 6 -12 bulan. Dengan harapan ilmu farmakogenomik, probabilitas keefektifitasan obat akan dapat meningkat menjadi 70-80%. Variasi genetik dapat timbul karena adanya mutasi, delesi, inversi.

 A. Polimorfisme
Polimorfisme adalah suatu senyawa mengkristalisasi dalam bentuk lebih dari satu spesies kristalin dengan perbedaan kisi internal. Stabilitas kimia, sifat prosessing atau ketersediaan hayati berubah akibat polimorfisme
Perbedaan utama dari solida dan bentuk fisik lain adalah apakah padatan berbentuk kristalin atau amorf.Pada karakterisasi Kristal,atom dan molekul ditetapkan secara berulang dalam susunan tiga dimensi,sedangkan pada bentuk amorf, atom atau molekul tersusun secara acak seperti dalam suatu cairan.
Semua bentuk amorf dan bentuk kristalin akan dikonversi menjadi bentuk kristalin stabil. Polimorf menstabilkan akan dikonversi menjadi bentuk stabil secara pelahan-lahan atau secara cepat (bergantung zatnya), dan ini merupakan hal yang sangat penting dalam farmasi adalah bentuk yang cukup stabil untuk menjamin usia guna-sediaan dan ketersediaan hayati.
Masalah yang terkait dengan keberadaan polimorfisme tidak stabil, kadang-kadang dapat diatasi dengan penambahan eksipien yang memperlambat tranformasi, misalnya metilselulosa untuk novobiosin.
Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat terabsorbsi dari pada bentuk kristalnya yang stabil, misalnya kloramfenikol mempunyai 2 bentuk polimorf A dan B; kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
Sebagian besar obat akan mempunyai pola unimodal. Kalau ada distribusi polimodal (bimodal atau trimodal) maka jelas ada fenomena polimorfisme. Polimorfisme genetik dalam proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat, tidak banyak dijumpai dan diketahui. Yang paling banyak dijumpai adalah adanya polimorfisme dalam metabolisme obat.
Polimorfisme Genetika
Dalam ilmu genetika, polimorfisme genetik didefinisikan sebagai “adanya individu-individu dengan sifat genetik yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, di mana frekuensi masing-masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi genetik”.
v BENTUK-BENTUK POLIMORFISME FARMAKOGENETIK
Secara umum bentuk keanekaragaman genetik, khususnya polimorfisme genetik dalam pengaruh obat dapat terjadi
dalam berbagai tingkat proses biologik obat dalam tubuh, yakni :
• Proses farmakokinetik: proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.
• Proses farmakodinamik: dalam proses interaksi antara molekul obat dengan reseptornya, di mana terdapat kepekaan reseptor yang abnormal terhadap molekul obat (kepekaan reseptor obat).
v Polimorfisme farmakogenetik dalam proses kinetik
Polimorfisme genetik dalam proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat, tidak banyak dijumpai dan diketahui. Yang paling banyak dijumpai adalah adanya polimorfisme dalam metabolisme obat Proses absorpsi.
Kemungkinan polimorfisme genetik dalam proses absorpsi dapat diperkirakan kalau individu-individu dengan ciri-ciri genetik tertentu, tidak dapat mengabsorpsi obat, nutriensia atau vitamin-vitamin karena tidak mempunyai faktor pembawa (carrier) spesifik untuk obat atau nutriensia atau vitamin yang bersangkutan. Jadi ada kekurangan atau defect dalam absorpsi pada mekanisme transport aktifnya. Namun ini secara teoritik, dalam kenyataannya tidak banyak yang dijumpai atau diketahui. Tidak jelas apakah malabsorpsi vitamin B-12 karena tidak adanya faktor intrinsik untuk absorpsi pada individu-individu tertentu juga masuk dalam polimorfisme genetik dalam proses absorpsi ini.
Proses distribusi. Polimorfisme genetik dalam proses distribusi secara teoritik kemungkinan dapat terjadi apabila ada abnormalitas ikatan protein terhadap obat tertentu oleh suatu fraksi protein tertentu. Atau distribusi obat ke organ/jaringan tertentu (misalnya uptake iodium oleh kelenjar tiroid) dengan suatu pembawa spesifik, mengalami gangguan dan gangguan ini disebabkan oleh karena faktor genetic.
Proses metabolisme. Bentuk-bentuk plimorfisme genetik yang banyak dikenal adalah dalam proses metabolisme oleh karena adanya keanekaragaman enzim yang berperan dalam metabolisme obat, baik secara kuantitatif atau secara kualitatif. Umumnya karena adanya perbedaan secara kuantitatif enzim oleh karena sintesis enzim yang dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya perbedaan antara asetilator cepat dan asetilator lambat lebih banyak dikarenakan perbedaan aktifitas enzim asetil-transferase karena jumlahnya yang berbeda.
Proses ekskresi. Kemungkinan adanya gangguan sekresi aktif di tubuli renalis karena tidak adanya pembawa spesifik secara teoritik dapat terjadi.
Amplifikasi Acak Polimorfisme DNA merupakan satu jenis penanda molekular yang banyak dipakai dalam penelitian dan diagnostik biologi molekular. Penanda ini lebih dikenal sebagai RAPD (biasa dipanggil "rapid"), singkatan dari Random Amplification of Polymorphic DNA. Sebagai penanda genetik, RAPD dikenal sebagai penanda yang relatif murah dan tidak memerlukan keterampilan teknis yang tinggi. Penanda ini bersifat dominan, dalam arti, ia dapat membedakan kelas genotipe resesif dari kelas-kelas genotipe yang lain. RAPD memerlukan teknik PCR dan elektroforesis gel dalam penerapannya. Kelemahan RAPD yang sangat dikenal adalah dapat memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang handal (reliable), khususnya bagi keperluan diagnostik, seperti sidik jari DNA.
Prinsip kerja
RAPD memerlukan pasangan primer, biasanya berukuran antara 8-mer hingga 12-mer (lihat oligo), karena menggunakan teknik PCR. Setiap pasangan primer akan menghasilkan sejumlah pita (band) yang akan tampak pada hasil elektroforesis gel. Pasangan primer yang dipilih (bisa sudah diketahui atau dipilih beberapa secara acak) diberikan pada sampel-sampel DNA (disebut DNA templat) yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya PCR dijalankan. Sewaktu proses PCR, primer akan menempel pada urutan-urutan basa yang komplemen pada DNA templat. Di akhir PCR akan terdapat sejumlah besar fragmen-fragmen pendek DNA hasil amplifikasi. Apabila terdapat delesi untuk suatu lokasi templat, akan terjadi polimorfisme. Dengan elektroforesis gel, akan terlihat pita yang terputus-putus apabila terdapat polimorfisme (oleh karena itu bersifat dominan).
Polimorfisme Panjang Berkas Restriksi
Polimorfisme Panjang Berkas Restriksi (bahasa Inggris: Restriction Fragment Length Polymorphism/RFLP) merupakan penanda molekul yang pertama kali ditemukan dan digunakan. Penggunaannya dimungkinkan semenjak orang menemukan enzim endonuklease restriksi (RE), suatu kelas enzim yang mampu mengenal dan memotong seurutan pendek basa DNA (biasanya 4-6 urutan basa). Enzim ini dihasilkan oleh bakteri dan dinamakan menurut spesies bakteri yang menghasilkannya.
Contoh:
EcoRI adalah enzim RE yang dihasilkan dari bakteri Escherichia coli strain RI (baca: R satu) BamHIII diperoleh dari bakteri Bacillus americanus strain HIII (H tiga). RFLP bersifat kodominan dan cukup berlimpah serta soenzim
Bentuk molekul enzim tidak selalu sama pada suatu spesies. Variasi bentuk dapat muncul pada suatu enzim dengan fungsi yang sama karena mutasi atau "kesalahan" dalam proses transkripsi. Jika variasi terjadi pada bagian enzim yang aktif (gugus aktif), kemungkinan besar enzim tidak berfungsi sama sekali. Sementara itu, jika variasi terjadi pada bagian enzim yang tidak aktif yang terjadi biasanya perubahan pada daya kerja enzim tetapi enzim masih tetap berfungsi. Variasi ini dikenal sebagai isoenzim atau isozim.
Isoenzim
Isoenzim merupakan produk dari gen-gen yang homolog sehingga belum tentu berasal dari lokus yang sama. Isoenzim yang berasal dari lokus yang sama dikenal sebagai allozim (dari allozyme, "allelic enzyme").Variasi yang disebabkan oleh mutasi dapat diwariskan dan dapat digunakan sebagai pembeda antara satu varietas dengan varietas yang lain karena menunjukkan polimorfisme.
Setiap isoenzim bermuatan listrik berbeda-beda (karena perubahan urutan asam amino penyusunnya) sehingga akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda pula pada elektroforesis. Perilaku ini dimanfaatkan dalam genetika molekular untuk membedakan suatu sampel dengan sampel yang lain.polimorfik. Penanda ini juga mudah dipetakan dalam peta genetik dan bersifat stabil. Kelemahannya, penanda ini memerlukan DNA dalam jumlah besar, lama (memerlukan waktu tiga hari), serta melibatkan penggunaan pelabelan isotop radioaktif (meskipun kini telah ditemukan teknik tanpa radioaktif).



B. Isoniazid

Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.

Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-asetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari  gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.

Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.

Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.

Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.

Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.


D. fluorouracil (5-FU)
Respon penggunaan 5-fluorouracil (5-FU) sebagai kemoterapi untuk kanker kolon ternyata sangat bervariasi. Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap ekspresi enzim timidilat sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat sintetase bervariasi pada setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU. Sedangkan penderita yang ekspresi mRNA TS tinggi ternyata tidak memperlihatkan respon pengobatan dengan kemoterapi ini (Leichman et al., 1997,). Hasil penelitian serupa ditunjukkan pula pada uji klinik penggunaan 5-FU ini terhadap penderita kanker lambung (Lenz et al., 1996). Genotipe dari gen TYMS, yang menyandi ekspresi enzim timidilat sintetase, ditentukan dengan mengamplifikasi gen/DNA dengan teknik PCR yang diisolasi dari 90 penderita kanker kolon yang mendapatkan pengobatan 5-FU. Hasilnya menunjukkan bahwa gen TYMS ternyata bersifat polimorfisme, mempunyai double (2R) atau triple(3R) tandem repeats pada 28-bp promoter gen, dan terdapat variasi 6-bp pada 3’-untranslated region (3’-UTR). Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan pemetaan genotipe dari gen TYMS dari penderita kanker yang akan diobati dengan 5-fluorouracil. Hal ini diperlukan untuk memprediksi respon obat dan efek toksik yang tidak diinginkan akibat penggunaan  5-FU (Lecomte et al., 2004, Pullarkat et al., 2001).


E. Warfarin
Pemetaan genotipe sangat membantu dalam penentuan dosis obat yang diberikan, memprediksi kemungkinan munculnya efek toksik suatu pengobatan, dan memungkinkan untuk melakukan pengobatan secara individual berdasarkan sifat genotipe seseorang. Contoh penelitian lainnya adalah  perbedaan respon penggunaan warfarin sebagai antikoagulan. Respon terhadap warfarin ternyata sangat bervariasi antar individu. Penggunaan warfarin yang tidak tepat dosis seringkali menyebabkan perdarahan serius. Perbedaan respon terhadap warfarin yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP2C9, CYP3A5, sangat tergantung pada peran P-glikoprotein yang ekspresinya disandi oleh gen adenosine triphosphate-binding cassette, ABCB1 atau juga disebut dengan multi dug resistance gene 1, MDR1. Variasi genetik dari gen ABCB1 yang dianalisis dengan teknik minisequencing terhadap 210 penderita, menunjukkan bahwa pemilihan dosis yang tepat untuk masingmasing varian genetik sangat penting untuk mendapatkan respon obat yang diinginkan (Wadelius et al., 2004).

Antagonisme

Efek warfarin dapat dibalikkan dengan vitamin K, atau ketika cepat pembalikan yang diperlukan (seperti dalam kasus pendarahan parah), dengan prothrombin kompleks berkonsentrasi — yang berisi hanya faktor-faktor yang dihambat oleh warfarin- atau segar plasma yang beku (tergantung pada indikasi klinis) Selain dengan suntikan vitamin K.
Rincian membalikkan warfarin disediakan dalam pedoman praktik klinis dari American College of dada dokter. Untuk pasien dengan rasio dinormalkan internasional (IDR) antara 4,5 dan 10,0, a small dose of oral vitamin k cukup.

Pharmacogenomics

Aktivitas warfarin sebagian ditentukan oleh faktor-faktor genetik. Amerika Food and Drug Administration "menyoroti kesempatan bagi penyedia pelayanan kesehatan menggunakan tes genetik untuk memperbaiki perkiraan awal mereka apakah dosis warfarin wajar untuk setiap pasien". Polymorphisms pada gen dua sangat penting.

VKORC1

VKORC1 polymorphisms menjelaskan 30% dari variasi dosis antara pasien: mutasi tertentu membuat VKORC1 kurang rentan terhadap penindasan oleh warfarin. '' VKORC1'' polymorphisms menjelaskan mengapa Afrika Amerika rata-rata relatif tahan terhadap warfarin (proporsi lebih tinggi dari Grup B haplotypes), sementara Asian Americans umumnya lebih sensitif (proporsi yang lebih tinggi dari Grup A haplotypes).

CYP2C9

'' CYP2C9'' polymorphisms menjelaskan 10% dari variasi dosis antara pasien, polymorphisms '' CYP2C9'' ini tidak mempengaruhi waktu untuk INR efektif sebagai lawan untuk '' VKORC1'', tetapi mempersingkat waktu untuk INR > 4.
  • Fennerty 10 mg rejimen adalah untuk mendesak anticoagulation
  • Tait 5 mg rejimen adalah untuk "rutin" (rendah-risiko) anticoagulation
  • Sekelompok ortopedi pasien, Millican '' et al.'' berasal model 8-nilai, termasuk '' CYP29C'' dan '' VKORC1'' genotipe hasil, yang dapat memprediksi 79% dari variasi dalam dosis warfarin. Ini adalah menunggu validasi pada populasi yang besar dan tidak direproduksi dalam orang-orang yang memerlukan warfarin untuk indikasi lain.
  • Lenzini '' et al.'' berasal dan prospectively divalidasi model termasuk '' CYP29C'' dan '' VKORC1'' genotipe. Model ini memperkirakan 70% dari variasi warfarin dosis dalam kohort validasi (versus 48% tanpa genotipe). Protokol pharmacogenetic menyebabkan penurunan dalam dari kisaran nilai-nilai INR dibandingkan dengan kontrol yang bersejarah.
  • www.WarfarinDosing.org, adalah sebuah situs web nirlaba yang diprogram dengan dosis Kalkulator dan alat-alat dukungan keputusan lain untuk dokter digunakan ketika memulai terapi warfarin.

Pengujian diri dan pemantauan rumah

Pasien membuat meningkatnya penggunaan pengujian diri dan pemantauan rumah anticoagulation lisan. Panduan internasional diterbitkan pada tahun 2005 untuk mengatur pengujian rumah, oleh International Self-Monitoring Association untuk Oral Anticoagulation.

Studi internasional yang menyatakan: "konsensus setuju bahwa pasien self-testing dan pasien diri adalah metode yang efektif pemantauan terapi anticoagulation oral, memberikan hasil setidaknya sama baiknya, dan mungkin lebih baik daripada, dicapai dengan klinik anticoagulation. Semua pasien harus tepat dipilih dan dilatih. Saat ini tersedia self-testing/self-management perangkat memberikan INR hasil yang sebanding dengan orang-orang yang diperoleh dalam laboratorium pengujian."Selain interaksi metabolisme, sangat protein pasti obat dapat menggantikan warfarin dari serum albumin dan menyebabkan peningkatan INR. Hal ini membuat mencari dosis benar sulit, dan menonjolkan kebutuhan pemantauan; Ketika memulai obat yang dikenal untuk berinteraksi dengan warfarin (misalnya simvastatin), INR cek yang meningkat atau dosis disesuaikan sampai dosis ideal yang baru ditemukan.

Banyak-digunakan antibiotik, seperti metronidazole atau Makrolid, akan sangat meningkatkan efek warfarin dengan mengurangi metabolisme warfarin dalam tubuh. Antibiotik lain spektrum yang luas dapat mengurangi jumlah flora bakteri normal di usus, yang membuat vitamin K, jadi potentiating efek warfarin dalam jumlah signifikan. Selain itu, makanan yang mengandung vitamin k dalam jumlah besar akan mengurangi efek warfarin. hypothyroidism (tiroid penurunan fungsi) membuat orang kurang responsif warfarin perawatan, sementara Hipertiroidisme (tiroid terlalu aktif) meningkatkan efek meminum antikoagulan. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk efek ini, termasuk perubahan tingkat rincian pembekuan faktor dan perubahan dalam metabolisme warfarin.

Penggunaan berlebihan alkohol juga dikenal untuk mempengaruhi metabolisme warfarin dan dapat meningkatkan INR. Pasien sering memperingatkan terhadap penggunaan berlebihan alkohol saat mengambil warfarin.

Warfarin juga berinteraksi dengan herbal dan rempah-rempah, beberapa digunakan dalam makanan (seperti jahe dan bawang putih) dan orang lain yang digunakan semata-mata untuk keperluan obat (seperti ginseng dan '' Ginkgo biloba''). Semua dapat meningkatkan perdarahan dan brusing di orang-orang yang mengambil warfarin; efek yang sama telah melaporkan dengan minyak borage (starflower) atau minyak ikan. St John's Wort, kadang-kadang dianjurkan untuk membantu dengan ringan sampai depresi moderat, berinteraksi dengan warfarin; itu menginduksi enzim yang memecah warfarin dalam tubuh, menyebabkan efek meminum antikoagulan yang berkurang.


DAFTAR PUSTAKA
file:///D:/dewi%20kusumastuti/cerpen/Warfarin%20farmakologi.htm
file:///D:/dewi%20kusumastuti/cerpen/Pengobatan%20Personal%20Mendobrak%20Paradigma%20Obat%20-%20Netsains.htm
file:///D:/dewi%20kusumastuti/cerpen/T-Mei%20%28Tita%20Meilani%29%20%20Polimorfisme.htm
file:///D:/dewi%20kusumastuti/cerpen/Pengaruh%20Faktor%20Genetik%20terhadap%20Metabolisme%20Obat%20_%20Moko%20Apt.htm

2 komentar: